WARUNG IJO BACIRO
Warna hijau yang mendominasi dinding-dinding bangunan tempat makan
sederhana ini menjadi satu-satunya petunjuk bagi YogYES untuk
menemukannya. Letaknya yang menjorok agak jauh dari jalanan serta
terhalang mobil-mobil yang terparkir di halaman depannya membuat YogYES
sedikit kebingungan untuk menemukan warung yang dinamai sesuai
dekorasinya ini. Terlebih tak ada papan pengenal atau petunjuk
bertuliskan 'Warung Ijo' yang bisa dijadikan sebagai pengenal. Ketika
YogYES memasuki warung yang tak terlalu besar ini, terlihat seorang
wanita membawa panci blirik berukuran sedang dengan asap yang
tampak mengepul di atasnya, kemudian meletakkannya dalam etalase bersama
deretan piring, mangkuk serta panci-panci lain yang berisi aneka menu
makanan. Melihat kami datang, wanita yang biasa di panggil Mbak Siti itu
pun tersenyum dan mempersilahkan kami memilih serta mengambil sendiri
menu makanan yang ingin disantap.
Seketika
mata saya pun bergerilya, kebingungan dengan banyaknya sayur serta lauk
yang merupakan kuliner
khas Jawa, berderet di etalase kaca. Tak
tanggung-tanggung beragam masakan seperti brongkos, mangut, trancam,
telur bacem, lodeh, oseng tempe lombok ijo serta masih banyak lainnya,
tersaji di sebuah warung makan sederhana. Meskipun menu buntil daun
pepaya yang menjadi salah satu menu andalan di warung ini tak tampak ada
di deretan menu sajian di etalase. Menurut penuturan Mbak Siti,
biasanya ada sekitar 30 macam menu pilihan yang disajikan, termasuk
buntil. Namun karena kami datang ketika menjelang jam makan siang,
sebagian sayur dan lauk pun sudah habis. Jika ingin mendapati pilihan
lauk dan sayur yang masih lengkap harus datang sekitar pukul 7 pagi,
ketika warung baru saja dibuka. Selain banyak pilihan sayur dan lauk.
Tersedia pula dua pilihan nasi di warung ini, nasi putih dan nasi merah.
Usai
memindahkan nasi beserta brongkos, trancam dan sate ati ampela ke
piring, saya pun langsung menuju meja terdekat yang saat itu kosong.
Sebenarnya ada satu spot unik di warung prasmanan yang tak jauh dari
Stasiun Lempuyangan ini. Namun sayangnya kursi yang berada di dekat
pintu dengan suguhan pemandangan lalu-lalang kereta api yang datang dan
pergi dari stasiun kereta api tertua di Jogja itu sudah ditempati orang.
Tak
sabar ingin meredakan suara perut yang sedari tadi protes minta diisi,
nasi merah pulen dan brongkos pun menjadi suapan pertama saya. Brongkos
adalah makanan khas Jogja yang sekilas mirip rawon atau sayur pindang,
berisi campuran tahu yang dipotong dadu, kulit mlinjo, kacang tolo dan
dibumbu keluak. Alih-alih dominan dengan rasa manis seperti brongkos
pada umumnya, brongkos racikan Mbak Siti ini terasa gurih dan manis yang
pas, tak berlebihan. Perpaduan gurih dan manis yang serupa juga terasa
ketika saya mencoba lezatnya sate ati ampela yang dimasak dengan bumbu
Klaten. Ditambah trancam segar yang merupakan campuran daun kenikir,
kubis, kecambah, potongan kacang panjang dan bumbu kelapa muda serta
wedang asam segar sebagai minuman penutup, membuat saya seketika ingin
kembali ke Warung Ijo Baciro di lain waktu untuk mencoba menu-menu lezat
lainnya.
Pilihan menu makanan di Warung Ijo Baciro ini memang
sudah cukup lama dikenal lezat di kalangan pelanggannya, bahkan sejak ia
berdiri sekitar 50 tahun silam. Jauh sebelum kuliner khas nusantara
termasuk makanan khas Jawa menjadi pilihan sajian resto-resto mahal. Tak
heran jika belum sampai tengah hari, lauk dan sayur masakan Mbak Siti
ini sudah nyaris habis. Karena tak hanya rasanya yang mengingatkan saya
pada kelezatan masakan ibu di rumah, harganya pun juga ramah di kantong.
Hingga membuatnya terasa lebih istimewa daripada masakan resto-resto
ternama. Namun sayang, kelezatan menu-menu masakan rumahan khas Jawa
yang resepnya diwarisi Mbak Siti dari ibunya ini tak bisa dinikmati
setiap hari. Pasalnya warung ini hanya buka hari Senin hingga Jum'at.
"Kalau Sabtu-Minggu yang jualan mau ke spa dulu, mbak." kata Mbak Siti
dengan nada bercanda sambil menyerahkan uang kembalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar